Urgensi Pengesahan RUU Perampasan Aset Sebagai Upaya Pemulihan Ganti Kerugian Atas Tindak Pidana Korupsi

 

GLOBALINVESTNEWS.id –Belakangan ini isu terkait korupsi sedang hangat menjadi perbincangan masyarakat Indonesia, bagaimana tidak banyak sekali oknum-oknum pejabat negara seperti halnya menteri yang melakukan tindak pidana korupsi dan memakai uang negara demi perutnya pribadi maupun golongannya, salah satunya adalah tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh mantan Menteri Pertanian Republik Indonesia yaitu Syahrul Yasin Limpo.

Menurut data dari ICW pada tahun 2022, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia sangat menurun yang mana skor awal yaitu 38 saat ini menjadi 34 atau saat ini Indonesia berada di peringkat 110 dari total 180 negara. Menurut catatan TI Indonesia, peringkat Indonesia saat ini berada di ⅓ negara terkorup di dunia dan di Asia Tenggara memiliki peringkat di bawah negara Thailand, Timor Leste, Malaysia, Vietnam, dan Singapura.

Pentingnya pengaturan yang lebih komprehensif mengenai perampasan aset dalam perundang-undangan di Indonesia, untuk memberikan efek jera kepada pelaku tindak pidana korupsi. Beberapa peraturan dalam hukum positif sudah mengatur kemungkinan untuk merampas aset hasil tindak pidana, tetapi hal tersebut hanya dapat dilakukan setelah pelaku tindak pidana terbukti di pengadilan secara sah dan menyakinkan melakukan tindak pidana. Padahal masih terdapat berbagai kemungkinan yang dapat menghalangi penyelesaian mekanisme penindakan seperti itu, misalnya pelaku kejahatan sakit kronis, meninggal, tidak ditemukan bukti yang cukup, atau adanya halangan lain yang mengakibatkan perkaranya tidak bisa dilanjutkan dalam pemeriksaan di pengadilan.

Praktik perampasan aset hasil tindak pidana yang berlaku di Indonesia saat ini

Bahwa saat ini perampasan aset hasil tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang dapat dilakukan oleh pihak Kejaksaan berdasarkan putusan pengadilan yang sudah memiliki kekuatan hukum tetap atau Inkracht. Pembuktian terbalik harus dilakukan dalam persidangan yang mana terdakwa harus membuktikan bahwa aset-aset yang dimilikinya didapat tidak dari suatu tindak pidana korupsi yang dilakukan, jika tidak dapat dibuktikan, patut diduga aset yang dimiliki ialah berasal dari tindak pidana dan hakim dapat memutus bahwa aset yang tidak dapat dibuktikan dapat disita oleh negara untuk kepentingan negara dan menutup kerugian negara yang disebabkan oleh pelaku.

Perampasan aset telah diatur di dalam Pasal 10 huruf b angka 2 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang bernama “perampasan barang-barang tertentu” yang digolongkan sebagai sebagai pidana tambahan. Letak “perampasan barang-barang tertentu”, yang berada di dalam pengaturan pidana tambahan, menimbulkan karakteristik dan konsekuensi yang berbeda dibandingkan dengan pidana pokok itu sendiri.

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengatur pula ketentuan mengenai penyitaan dan perampasan aset hasil tindak pidana. Ketentuan hukum acara pidana menggariskan bahwa sebelum dilakukan tindakan hukum berupa perampasan, maka terhadap objek atau barang yang akan dirampas harus terlebih dahulu dilakukan penyitaan oleh penyidik. Tindakan hukum berupa penyitaan yang berkaitan dengan aset hasil tindak pidana dalam KUHAP diatur dalam Pasal 38, 39, 42, 44, dan 45. Sedangkan mengenai perampasan aset diatur dalam Pasal 46 ayat (2).

Perampasan aset juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam UU TIPIKOR menyebutkan dan menjelaskan perampasan aset dapat dilakukan melalui dua (2) mekanisme, yaitu mekanisme secara hukum pidana melalui putusan pengadilan pidananya dan melalui hukum perdata melalui gugatan perdata.

Urgensi Pembentukan Undang-Undang tentang Perampasan Aset di Indonesia

Dalam sistem hukum Indonesia saat ini, hanya menghukum pelaku tindak pidana tidak cukup efektif untuk mencegah kejahatan tanpa upaya menyita dan merampas hasil serta alat yang digunakan. Tindakan ini tidak hanya mengalihkan kekayaan dari pelaku ke masyarakat, tetapi juga meningkatkan peluang mencapai keadilan dan kesejahteraan.

Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memberikan solusi terbatas dalam mengembalikan aset koruptor. Aktivis Anti Korupsi Donal Fariz mengidentifikasi empat kelemahan dalam UU Tipikor, perampasan kekayaan hanya untuk barang dari korupsi, penggantian kerugian negara tidak maksimal, celah hukum untuk menghindari pembayaran uang pengganti, dan kesulitan pembuktian.

Dengan merujuk pada faktor-faktor yang telah disebutkan sebelumnya, pengaturan mengenai Perampasan Aset terkait dengan Tindak Pidana bertujuan untuk menyediakan regulasi yang spesifik mengenai penelusuran, pemblokiran, penyitaan, dan perampasan aset yang terkait dengan tindak pidana, sebagai bagian dari upaya penegakan hukum di Indonesia.

Keberadaan Undang-Undang tentang Perampasan Aset menjadi penting karena beberapa alasan, termasuk kedudukan Indonesia sebagai negara yang telah meratifikasi UNCAC ( United Nations Convention Againts Corruption ), perkembangan jenis tindak pidana yang mengakibatkan kerugian ekonomi, serta kurangnya mekanisme yang tersedia belum memadai.

1. Ratifikasi UNCAC

Indonesia telah meratifikasi UNCAC melalui UU No. 7 Tahun 2006, yang mengatur pentingnya penelusuran, penyitaan, dan perampasan hasil tindak pidana secara internasional. Pemerintah Indonesia perlu menyesuaikan ketentuan hukum nasional dengan UNCAC, termasuk menerapkan mekanisme Non-Conviction Based (NCB) untuk perampasan aset. Menurut Akademisi Hukum Pidana Universitas Tarumanagara Dr. Ade Adhari, S.H., M.H, Asset Recovery itu dinyatakan sebagai fundamental principle of this convention, Indonesia perlu undang-undang perampasan aset adalah untuk membuat konvensi anti korupsi ini menjadi konvensi yang hidup, konvensi yang bernyawa.

2. Perkembangan Jenis Motif Tindak Pidana Ekonomi

Kemajuan teknologi dan informasi telah memudahkan pelaku kejahatan menyembunyikan hasil tindak pidana, termasuk lintas negara. Dengan adanya berbagai modus operandi baru dalam tindak pidana, penegakan hukum terhadap kejahatan tersebut menjadi semakin sulit. Selain itu, kemajuan teknologi dan informasi juga mempermudah pelaku kejahatan dalam menyembunyikan hasil tindak pidana. Apalagi terhadap pengembalian aset hasil korupsi yang bersifat transnasional atau lintas negara. Ini menuntut regulasi hukum yang dapat mengatasi tantangan ini dan meningkatkan efektivitas penegakan hukum.

3. Mekanisme yang Belum Memadai

Mekanisme yang ada dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Tipikor belum memadai, terutama dalam penerapan sanksi pengembalian kerugian. Dalam upaya mengembalikan uang hasil korupsi kepada negara, tampaknya ketentuan yang ada dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) tidak memadai, terutama dalam hal penerapan sanksi pengembalian kerugian (uang pengganti) atau denda. Ketentuan tersebut tidak mudah untuk diterapkan oleh hakim dan sering tidak dilaksanakan karena pelaku lebih memilih dengan pidana atau kurungan pengganti atau karena keadaan harta benda terpidana tidak mencukupi. Ada kebutuhan mendesak untuk memperbarui mekanisme perampasan aset agar lebih efektif dan dapat disesuaikan dengan kondisi saat ini.

Menurut Dr. Ade Adhari, S.H, M.H, UU Perampasan Aset sangat penting keberadaannya karena aset recovery adalah cara untuk memastikan kerugian negara bisa di recovery, ketika aset itu bisa di recovery, paling tidak hasil aset recovery itu bisa digunakan sebagai upaya pembangunan negara agar mendukung keberlangsungan pembangunan infrastruktur kenegaraan, agar bisa menjadi negara maju. Kemudian aset recovery ini memberikan dampak positif untuk mengembalikan kepercayaan publik kepada negara, karena dipandang sebagai usaha serius.

Perampasan aset hasil tindak pidana di Indonesia sudah memiliki dasar pelaksanaan, namun perlu pembaruan mekanisme agar lebih efektif. Saat ini, eksekusi perampasan aset memerlukan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, yang memakan waktu lama. Oleh karena itu, perlu ada pembaruan hukum untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman.

Menghukum pelaku tindak pidana saja tidak cukup efektif untuk mencegah kejahatan. Penyitaan dan perampasan aset menjadi penting untuk mencegah pelaku kejahatan melakukan tindak kriminal lagi serta untuk mengembalikan kekayaan hasil tindak pidana kepada negara. Urgensi pembentukan Undang-Undang tentang Perampasan Aset di Indonesia dapat dilihat dari tiga faktor: ratifikasi UNCAC, perkembangan jenis tindak pidana, dan mekanisme perampasan aset yang belum memadai. Indonesia harus menyesuaikan peraturan dengan ketentuan UNCAC dan menghadapi kemajuan teknologi yang memudahkan pelaku kejahatan menyembunyikan hasil tindak pidana.

Penulis : 

  1. Dr. Sigid Riyanto, S.H., M.Si.
  2. Ovaldo Noor Hakim, S.H.
  3. Muhammad Alif Alrasyid, S.H.
author

Author: 

Related Posts

Comments are closed.